9 Feb 2010

Euphoria Cinta Melawan Kehormatan

Cinta tak mengenal batas dan usia, sebuah ungkapan yang digunakan sebagian pihak sebagai dalih dalam melegitimasikan hak personalnya. Tentunya hak personal yang berkisar tentang kebebasab dalam menentukan nasib seseorang dan keluarga. Contoh yang actual dan konkrit yang sering kita jumpai tanpa bermaksud memojokan siapa-siapa yaitu hidup bersama layaknya sepasang suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah. Seiring kejadian seperti ini adalah dinamakan sebagai fenomena kumpul kebo. Tak pelak argumentasi pro dan kontra pun bermunculan dengan puluhan stigma yang berimplikasi pada lunturnya kultur pribumu.
Bila diusut lebih jauh lagi, maka cinta dan jalinan keluarga akan semakin membawa pikiran ke dalam kompleksnya sebuah relung imajinasi. Baik itu berupa imaji religio-normatif dengan Tuhan sebagai akar cinta kedua insan, maupun imaji-humaniora dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai kekuatan utamanya.
Kontoversi memang, apalagi jika wacana atau opini public tersebut dibawah ke arenanya para pemimpin agama, maka dengan tegas akan menolaknya. Tentu mempunyai suatu alasan yang jelas atau logis bahwa percampuran kedua insane yang nyata-nyatanya diluar iaktan perkawinan dapat dikategorikan sebagai perbuatan zinah, sementara itu fenomena kumpul kebo masih saja dilakukan bahkan cendrung meningkat.
Berbagai penetrasi dan advokasi para aktivis perempuan turut serta menghiasi dinamika pergulatan pemikiran tersebut. Mulai dari berbagai kritik moral yang disampaikan baik dalam bentuk diskusi, seminar dan lain sebagainya maupun kritik-kritik lainnya bernada propaganda dan provokasi. Sementara itu muncul juga berbagai konspirasi yang bertujuan menggugat keabsahan hukum Negara dengan embel-embel HAM. Kelompok atau kubu “pro-kumpul kebo”menyatakan bahwa sudah saatnya hak privat setiap warga Negara diperjuangkan.
Infiltrasi Negara untuk menentukan hak privat setiap warga Negara selama ini terkesan kurang adil, bahkan tidak proporsional. Dalam hal ini yang perlu dikritisi adalah perumusan RUU KUHP dan kriminalisasi setiap tindakan hubungan kumpul kebo di luar nikah. Ketimpangan ini dapat dilihat dari berbagai bentuk komparisasi antara RUU KUHP yang mengatur masalah zinah yang ancamannya lima tahun penjara (pasal 484), sementara perbuatan kumpul kebo hanya diancam pidana maksimal dua tahun penjara (pasal 486)

Intervensi Negara
Kalau boleh dirunut lebih awal maka rujukan dari setiap pasal yang mengatur perbuatan perzinahan maupun perbuatan kumpul kebo dalam RUU KUHP tersebut sangat rapuh dan lemah. Dalam arti ini segi aplikasi dan pemaknaan bahasa-bahasa kritis kurang diperhatikan, sehingga banyak pihak (orang oportunis) justru dapat memanfaatkan kesempatan tesebut untuk berkelit dari perkara yang dituduhkan kepadanya. Misalkan untuk bisa meringankan ancaman hukumnya, maka pelaku yang dituduhkan melakukan perbuatan zinah bisa saja berdalih bahwa mereka sebenarnya kumpul kebo. Hal ini merupakan rasionalisasi kesalahan untuk dapat membenarkan diri.
Yang menjadi pertanyaanya adalah siapakah yang melapor terkait kedua perbuatan yang disebut diatas! Pasti ada pihak ketiga atau saksi yang memiliki kapasitas sebagai pelapor yang mempunyai pertimbangan tersendiri berdasarkan asumsi-asumsi, sehingga bisa melaporkan hal tersebut? Hal ini justru menjadi bahan perdebatan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam masalah tersebut.
Lebih jauh lagi, friksi psiko social merebak sebagai bentuk implikasi dari upaya intervensi Negara dalam bidang perkawinan yang adalah tidak lain dengan tujuan agar setiap pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan harus tunduk pada aturan hokum buatan Negara. Tidak mengherankan apabila hokum perkawinan yang diatur sering disebut sebagai hukum perkawinan yang memaksa (the dwingendrecht)¬¬. Sebenarnya pemerintah telah berusaha diberbagai kesempatan mensosialisasikan hokum ini kepada public yang disertai dengan tawaran berbagai keuntungan dengan undang-undang tersebut. Contoh disini adalah hukum perkawinan yang menawarkan keuntungan bahwa anak dilahirkan dalam perkawinan yang sah secara hukum mempunyai hubungan dengan ayah dan ibunya, sedangkan anak yang dilahirkan di luar hukum yang sah mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Tawaran keuntungan yang lainnya adalah penetapan hak dan kewajiban dalam pemilikan harta benda. Apabila pada suatu saat terjadi perceraian, maka kewajiban hidup bersama bersama boleh dihapus, sedangkan hak dan kewajiban yang lainnya masih dapat dimiliki dan dapat dilakukan.
Walaupun seabrek tawaran tersebut telah disosialisasikan di berbagai kesempatan sampai pada level grass root, ternyata masih banyak reaksi dari masyarakat yang kontra. Bukan kalangan kawula alit saja, tetapi sebagian kalangan elite-intelektual yang juga telah berusaha merobohkan legitimasi undang-undang Negara tersebut. Mereka mengaggap bahwa turut campur tangan dari pemerintah tersebut dapat diterima apabila terdapat ketidaktertiban di dalam lingkungan masyarakat. Padahal apabila mereka menggunakan pemikiran secara arif dan proporsional, maka sebenarnya substansi tujuan dari undang-undang tersebut adalah untuk terciptanya ketertiban dan keharmonisan di dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.

Kultur Pribumi dan Religiusitas
Semenjak awal peradaban kebudayaan nusantara ini ada, pernikahan telah dipandang sebagai sebuah event yang sacral. Terbukti dari berbagai upacara yang sangat kental dengan norma-norma keluhuran budi pekerti ala pribumi, bahkan upacara pernikahan diberbagai daerah tetap mempertahankan spesifikasi alur dan tata cara pernikahan ala nenek moyangnya. Ini menandakan bahwa kultur pribumi sangat indentik dengan sebuah kehormatan, kultur yang sebenarnya tidak ingin ternoda¬ dengan hegemoni kultur barat yang cendrung liberal dan hedonis. Kultur barat ibarat cendawan hitam yang siap menghisap sari pati kebudayaan bangsa, sehingga pada akhirnya tonggak-tonggak norma kehormatan kultur pribumi dengan sendirinya runtuh diiringi dengan sebuah teriakan hati nurani yang histeris.
Lalu bagaimana dengan perbuatan kumpul kebo? Sudah sangat jelas bahwa ikhtisar sejarah keluhuran bangsa bukan hanya sebuah paradoks sempit, tetapi membuktikan bahwa perbuatan kumpul kebo sangat tidak cocok dengar akar kepribadian bangsa dan Negara kita, walaupun masih terdapat beberapa kalangan yang menilai bahwa perbuatan kumpul kebo itu sah-sah saja sebatas tidak menggangu lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena dengan mengatasnamakan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) yang terdapat dalam hak-hak privat setiap manusia yang akan menjadi sandarannya.
Selama ini yang ditonjolkan dalam berbagai problematic perbuatan kumpul kebo adalah hak. Hak setiap manusia adalah satu-satunya alat yang dapat melegitimasi propaganda terhadap public. Padahal setiap manusia selain mempunyai hak, juga memiliki kewajiban sebagai syarat untuk menjadi warga Negara yang baik. Salah satu kewajibannya adalah menghormati dan menaati budaya pribumi, budaya yang menjunjung tinggi falsafah kesucian dan kehormatan, dan bukan malah menghadirkan budaya sendiri yang ternyata sangat kolot dan tidak manusiawi. Oleh karena itu sikap arif dan bijaksana harus menjadi landasan menuju tatanan kultur yang proporsional dan bersahabat. Proporsional dalam arti tetap bangga terhadap kepribadian bangsa sekaligus menggunakan filter seandainya perlu pengembangan nilai dari setiap budaya asing.
Fenomena lain yang sering diexpos di public adalah nikah yang sangat sacral baik secara agama maupun adat-istiadat ternyata dilakukan dibawah tangan. Memang secara agama sah, namun bila ditinjau dari kaca mata hokum dan perundang-undangan, maka perhelatan nikah tersebut tidak ubahnya perbuatan kumpul kebo. Perbedaannya adalah terletak pada afiliasi ideologi yang menjadi cirri khas tersendiri. Sekiranya terdapat komparasi norma, memang terdapat beberapa kemiripan antar kumpul kebo dengan nikah dibawah tangan. Kemiripan yang dimaksud adalah kedua hal tersebut lahir dari luar kultur pribumi. Legitimasi perbuatan kumpul kebo berawal dari kultur barat sedangkan nikah dibawah tangan oleh banyak pihak mengklaim berasal dari kultur religi dari belahan bumi timur.
Satu hal yang membuat nikah dibawah tangan lebih legitimate, yakni image fitrah yang dipegang teguh, sangatlah terpelihara. Kesucian dan kelembutan sentuhan ayat-ayat cinta-Nya membuat tersebut diangap sangat sacral dan mulia. Bukan sebuah euphoria yang semu dan hiperbolik, tetapi lebih mengutamakan harkat dan martabat sebagai insane yang diciptakan atas kebesaran-Nya. Itulah yang dinamakan roh-roh kehormatan dalam arti yang sebenarnya.

                                                                                                              Oleh : Marsensius Lusi Lebuan




Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl